Berkaca dari Sejarah, IHSG Selalu Menghijau Setiap November
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memulai hari pertama November 2025 dengan laju yang amat semringah. Penguatan dan atraktif cepatnya pasar yang terjadi dalam dua hari perdagangan ini, senada dengan hijaunya data historis dalam 10 tahun.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memulai hari pertama November 2025 dengan laju yang amat semringah. Penguatan dan atraktif cepatnya pasar yang terjadi dalam dua hari perdagangan ini, senada dengan hijaunya data historis dalam 10 tahun.
Jika dirata–ratakan, IHSG tercatat menguat 0,14% selama perdagangan saham pada November, di balik fluktuatifnya Bursa Saham Indonesia.
Pada perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/11/2025) kemarin, IHSG ditutup di zona hijau dengan penguatan positif mencapai 1,36% ke 8.275. Berlanjut hingga perdagangan siang hari ini, IHSG melaju ceria dengan kecenderungan agresivitas yang tinggi.
IHSG terdorong euforia atas rilisnya data S&P Global Indonesia Manufacturing yang terus melesat di zona ekspansi. Tercatat, aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) ada di level 51,2 pada Oktober. Melenggang positif dibanding bulan sebelumnya yang ada di level 50,4.
Pencapaian tersebut membuat tiga bulan beruntun manufaktur Indonesia berada di level ekspansi, yang turut mengonfirmasi kenaikan permintaan. Permintaan baru (new orders) naik tiga bulan berturut–turut. Terlebih lagi, pertumbuhan permintaan baru pada Oktober menjadi yang tertinggi sejak Maret atau dalam tujuh bulan.
Berdasarkan data Bloomberg, IHSG pada November 2024 memang mencatatkan pelemahan sebesar 6,07%. Torehan tersebut resmi menjadi yang paling merugi; pada November 2016, IHSG juga pernah ambles sedalam 5,05% hingga mencerminkan fluktuatif yang amat agresif.
Di Balik Hijaunya IHSG, Naik-Turun Bak Roller Coaster dalam 10 Tahun
Data historis pada 2022 IHSG juga sempat mencatatkan pelemahan di zona merah 0,25%. Laju yang pesimistis ini melanjutkan tren negatif dari November 2021 yang mencatatkan penurunan 0,87%. Bersamaan dengan pelemahan 3,48% pada November 2019.
Berseberangan jauh dengan itu, pada November 2020 kala itu IHSG melejit setinggi–tingginya mencapai 9,44% terefek langsung dari redanya kegelisahan pasar terhadap resesi perekonomian seiring prospek pemulihan global dari pandemi Covid-19 pada tahun 2020 tersebut. Penguatan ini menjadi tren paling positif dan optimistis pada bulan November.
Adapun catatan penguatan tertinggi selanjutnya terjadi pada November 2023 baru–baru ini mencapai 4,87%. Sentimen positif datang dari keyakinan pasar akan sudah tercapainya puncak bunga suku bunga The Fed juga diperkuat lagi oleh segera dimulainya era pemangkasan bunga acuan.
Ditambah lagi, dari dalam negeri, kala itu, neraca perdagangan Indonesia berhasil melanjutkan tren surplus mencapai US$3,48 miliar. Surplus ini lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya US$3,42 miliar dan juga berhasil di atas estimasi pasar sebelumnya. Ini menjadikan pencapaian surplus selama 42 bulan berturut–turut.
Sentimen Perdagangan Saham pada November 2025
Untuk November 2025, sejumlah sentimen dan katalis berpotensi memengaruhi IHSG selama satu bulan ke depan terutama rilisnya data inflasi Indonesia. BPS melaporkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Oktober 2025 mengalami inflasi yang terakselerasi 2,86% atau tertinggi sejak April 2024, lebih tinggi juga dibanding penilaian konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg sebesar 2,64%.
Tren kenaikan inflasi ini dinilai sebagai indikasi membaiknya konsumsi masyarakat. “Indikasi pemulihan konsumsi terlihat dari tren kenaikan inflasi. Inflasi diperkirakan terus meningkat dalam level yang terkendali hingga Desember, sebagai dampak dari kecenderungan peningkatan konsumsi masyarakat,” sebut riset Phintraco Sekuritas.
BPS menyebut, RI mengalami inflasi terdorong peningkatan IHK dari sebelumnya 106,01 pada Oktober 2024 menjadi 109,04 pada Oktober 2025. Secara tahunan, terjadi inflasi inti 2,36% dan secara tahun berjalan (tahun kalender) terjadi inflasi 2,1%.
BPS mencatat inflasi pada Oktober 2025 utamanya didorong oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau, komoditas cabai merah, hingga emas perhiasan.
Selain inflasi, kemarin Senin, juga terdapat rilis data dari BPS, di mana neraca perdagangan Indonesia pada September berhasil mencapai nilai surplus US$4,34 miliar. Artinya, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 65 bulan berturut–turut sejak Mei 2020.
BPS menyebut, surplus neraca perdagangan lebih ditopang oleh komoditas nonmigas. Penyumbang surplus ialah komoditas lemak dan minyak hewani/nabati, bahan bakar mineral serta besi dan baja.
Agenda Penting pada November 2025
Selanjutnya pada November 2025 ini akan terdapat agenda yang paling dinantikan, data pertumbuhan ekonomi Kuartal III-2025, menyusul cadangan devisa Indonesia, laporan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), dan juga pengumuman penjualan ritel (retail sales). Termasuk juga akan ada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia terkait suku bunga acuan.
Adapun jika dibanding dengan regional, atau rekan–rekannya di Bursa Asia, kompak keseluruhannya menghijau, tercatat NIKKEI 225 melejit 3,44%, Hang Seng Index Hong Kong mencatat penguatan 2,74%, Straits Times Index Singapore menguat 2,49% dam Bursa Saham Korea Stock Exchange atau KOSPI menguat 2,36% pada data historis rata–rata perdagangan saham dalam 10 tahun.
Jika mencermati lebih lanjut, penguatan paling tinggi secara historis dilangsungkan oleh NIKKEI 225 dengan melesat mencapai 15,04% pada November 2020, melanjutkan tren bullish yang sama dari tahun–tahun sebelumnya; 1,6% pada 2019, 1,96% pada 2018, 3,24% pada 2017 hingga 5,07% pada November 2016.
Mencermati sentimennya kala itu, perekonomian Jepang berhasil keluar dari jeratan resesi pada Kuartal III–2020 di tahun yang berat akibat pandemi Covid–19. Melansir data pemerintah November silam, Jepang mencatat pertumbuhan PDB mencapai 5%, lebih baik dari estimasi pasar sebelumnya 4,4%.
